Monday 19 November 2012

"Topeng-Topeng vs Jiwa Dari Dunia Yang Hilang Jiwa"

Pentas Produksi Teater Club Faksas Unsrat

Laporan : Rikson Karundeng
Teriakan histeris, erangan, tawa terkekeh-kekeh,……mengikuti setiap gerak bayang. Alunan musik dan permainan sorot lampu mengantar setiap pasang mata yang awas semakin terbenam dalam dunia dramatis. Namun gema tepuk tangan dan siulan menghentikan 120 menit ketegangan itu. Ratusan pasang mata yang menyaksikan pertunjukan di Theater Hall Fakultas Sastra (Faksas) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) tampak tersenyum puas.
Senin (5/11) malam, Teater Club Faksas Unsrat kembali menyemarakkan panggung teater Sulut dengan Pentas Produksi yang menyajikan dua naskah sekaligus, ‘Topeng-Topeng’ yang disutradarai  Ie’ Hadi G dan ‘Jiwa Dari Dunia Yang Hilang Jiwa’ yang disutradarai Fredy S. Wowor.
Achi Breifi Talagai, tampil monolog dan berhasil memerankan dua karakter sekaligus, Waska dan Semar dalam ‘Topeng-Topeng’. Sementara Karlita Marsha Eman, Jein Byl, Nico Talagai, Gloria Tico, Meilisa Pinangkaan, Ardonik Takou, Epiphani Pangkey, Huruwati Manengkey, Billy Manoppo dan Geri Kodong, menunjukkan kualitas terbaik mereka dalam ‘Jiwa Dari Dunia Yang Hilang Jiwa’ sehingga berhasil menutup pementasan tersebut dengan sempurna.
“Naskah ini menampilkan sisi kemanusian yang kontradiktif. Hitam-putih, kaya-miskin, bahagia-sedih. Dua tokoh yang ditampilkan, Waska dan Semar, dua tokoh yang tidak pernah hidup yang selalu dikisahkan dalam berbagai kesempatan. Mereka yang menampilkan sisi kontradiktif itu,” kata Hadi, menerangkan isi naskah yang disajikan pertama kali.
Menurutnya, pesan penting dari pentas ini adalah sebuah proses penyadaran manusia. “Manusia dalam kesedihan namun sesaat kemudian langsung senang. Orang-orang terlihat  gampang melupakan kesedihan,” ujar salah satu aktor terbaik Sulut ini.
Sementara itu, Fredy Wowor mengungkapkan, dalam naskah ‘Jiwa Dari Dunia Yang Hilang Jiwa’ digambarkan bahwa Rumah Sakit Jiwa adalah gambaran dunia hari ini. “Ketika kegilaan menjadi kambing hitam, kebebasan terpasung. Dalam Rumah Sakit Jiwa, setiap jiwa menemukan pembebasannya, terlepas dari segala penindasan. Ini menceritakan pergulatan kejiwaan orang-orang yang dijustifikasi masyarakat tidak waras,” terangnya.

Ketua Teater Club, Achi Breivi Talagai menjelaskan, pentas produksi seperti ini memang rutin dilakukan para pekerja seni di Faksas Unsrat, terutama para pegiat di Teater Club. “Ini sudah menjadi program rutin kita. Jadi secara berkala kita menggelar pentas produksi untuk tetap menghidupkan seni pentas di Faksas yang memang merupakan salah satu basis penggerak teater di Sulut,” kata Achi.

Marthen Rombon, dosen Sejarah Kebudayaan Faksas Unsrat yang ikut menyaksikan pertunjukan tersebut, mengapresiasi seluruh kegiatan yang sudah dibuat. “Ini positif. Harus ada perhatian penuh dari pimpinan fakultas dan rektorat,” tegasnya.
Rombon menambahkan, selama ini Faksas Unsrat memang selalu memberi ruang dan memfasilitasi setiap kegiatan seni dan budaya di kampus tersebut. “Ini memang bidangnya fakultas ini. Pementasan teater merupakan sarana menyampaikan pesan-pesan positif kepada masyarakat. Sudah bukan jamannya lagi menggunakan kekerasan untuk memaksakan suatu keinginan ke masyarakat,” katanya.
Ditanya soal penilaiannya terhadap pentas tersebut dari perspektif sejarah budaya yang merupakan kompetensinya, Rombon menjelaskan bahwa kegiatan seperti ini akan bisa mengukapkan masa lalu. “Cara pengungkapan masa lalu salah satu dengan pementasan seperti ini. Dengan cara seperti ini, masyarakat umum akan tertarik menyelami soal pementasan ini sekaligus bisa juga menyelami soal masa lalu. Jangan lupa, kita ini bagian dari masa lalu,” imbuhnya.

"Topeng-Topeng vs Jiwa Dari Dunia Yang Hilang Jiwa" Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 comments:

Post a Comment